DILEMA
IDEALISME DAN CINTA
(Mardatillah
Umar)
Ini adalah sebuah era dimana tidak ada kesetaraan…
Sebuah era dimana tidak adanya kepusaan dan
kepercayaan…
Sebuah era yang penuh penuh dengan diskriminasi…
Era dimana kita dilihat
berdasarkan siapa dan seberapa banyak uang kita…
Ini zaman dimana kita sebagai orang miskin semakin terinjak-injak…
Zaman dimana kita lahir di negeri yang harga pasir lebih mahal dibanding harga nyawa.
Ini zaman dimana kita sebagai orang miskin semakin terinjak-injak…
Zaman dimana kita lahir di negeri yang harga pasir lebih mahal dibanding harga nyawa.
Kuhembuskan
napasku, lega rasanya aku bisa kembali ke tanah airku dan aku bisa menginjakan
kaki kembali di bumi pertiwi. setelah tujuh tahun aku tinggal di Belanda untuk
menuntut ilmu dan bekerja sebagai staff KBRI. Aku adalah Putri Athaya sasongko.
Aku lahir di keluarga yang sangat nasionalis, dulu eyang kakung adalah seorang abdi
Negara beliau bekerja sebagai staff istana negara. Eyangku adalah orang yang
sangat nasionalis beliau mengajarkanku apa itu nasionalisme dan idealisme.
Sedangkan ayahku adalah prajurit TNI yang gugur dalam tugas yaitu ketika
meredam kerusuhan di Papua. Ibuku bekerja sebagai aktivis Ham di Jakarta.
“Sayang apa kabar” sapa Eyangku sambil memelukku
“alhamdullilah baik Eyang, Eyang apa kabar?” tanyaku pada Eyang “Eyang yang
begini-begini saja hanya saja Eyang tambah tua?” jawab Eyang diakhiri dengan
tawa yang khas.
“Ha… ha… Ha…
Eyang ada-ada aja, kalo Eyang nggak makin tua aku malah takut, nanti Eyang
dikira makan bayi” candaku pada Eyang. “ayo ndok, pulang Eyang putri sama ibumu
udah nunggu di rumah”. Sampai di rumah Eyang putri dan Ibuku langsung memelukku.
“Atha
sayang apa kabar eyang uti kangen banget sama kamu” sapa Eyang Uti sambil
menciumku. Aku hanya bisa tersenyum. “Mama, aku kangen padamu” sapaku sambil
memeluk mamaku.
Makan malam pun tiba aku, makan malam berjalan
lancar hanya saja satu pertanyaan dari eyang kakungku yang membahas tentang
pernikahan.
“Ndok,
kamu kan udah 29 tahun tunggu apalagi kapan kau nikah, apa kau menunggu eyangmu
itu tiada dulu?” Tanya eyang padaku. Serasa ceker ayam menyakar tenggorokanku.
“Aduh eyang aku itu masih muda, masih banyak
yang harus aku lakukan” jawabku pada eyang.
“Tapi ingat kau harus punya pendamping yang satu
ideologi sama kita, harus seiman juga”
Kata Eyang Uti ku. Aku hanya terdiam membisu
terbesit dalam pikiranku, bagaimana kalau kelurgaku tahu aku punya kekasih
orang Belanda, yang notabene nggak satu ideologi, nggak seiman ditambah lagi
Belanda itu pernah menjajah Indonesia pasti kalau mereka tahu mereka langsung
menolak kekasihku terang-terangan. Pasti Eyang Kakung yang paling nggak setuju
karena beliau mantan staff istana negara dan mantan pejuang di era Indonesia
dijajah Belanda.
Malam kini semakin larut aku masih tidak bisa
memejamkan mataku, masih terngiang di pikiranku soal pertanyaanku. Tiba-tiba hp
ku berdering kekasihku Jhosep menghubungi ku.
“Hai, sudah
sampai di Indonesia kamu” sapa Jhopsep dalam bahasa Indonesia dia memang
mahasiswa jurusan bahasa Indonesia.
“Ah ya aku sudah sampai tadi siang” jawabku pada
Jhosep.
“Syukurlah
kalau begitu, bagaimana lamaranku kau terima tidak” .
“Maaf Jhosep aku harus bicara dengan kelurgaku dulu
sebelum memutuskan itu” jawabku tanpa aku sadari air mataku mengalir dengan
derasnya.
“Baiklah akan
kutunggu jawabanmu” balas Jhosep.
“Terimakasih
Jhosep, cepat istirahat dan cepatlah kau berbaur dengan buku dan penamu”.
Keesokan harinya aku berbicara pada eyang kakung.
“Pagi eyang”
sapaku pada eyang yang sibuk memberi makan ikan di kolam.
“Pagi ndok,
acara hari ini mau ke mana” Tanya balik Eyangku.
“Ehm, aku
masih bingung mungkin hari ini aku hanya duduk manis di rumah” gumamku pada
Eyang.
“Oh ya Eyang
mama sama Eyang Uti ke mana?” tambahku pada Eyang “Ibumu lagi ke jawa timur
katanya di sana ada orang dibunuh gara-gara menolak tambang pasir terus eyang
Uti tadi ke pasar belanja” jawab eyangku yang masih sibuk dengan ikan-ikannya.
“Eyang aku boleh ngomong sesuatu sama eyang eyang,
penting”. Kemudian eyang menoleh dan metatap tajam.
“Apa ndok
kamu mau bicara apa sama eyangmu ini?”.
“Tapi Eyang janji dulu sama aku Eyang nggak bakalan
marah”.
“Ya tergantung, kamu mau bicara masalah apa”. Dengan
hati yang berdebar aku bicara pada Eyangku.
“Ehm, begini eyang, ehm… Aku udah punya kekasih dan
itu orang Belanda” ucapku dengan cepat.
“Apa kamu punya kekasih sama orang Belanda, kamu itu
gimana si kan eyang udah bilang jangan sama orang Belanda, kamu kan tahu kalau
Eyang paling nggak suka sama orang Belanda karena mereka dulu menjajah
Indonesia” Jawab eyangku dengan suara yang keras.
“Maaf eyang tapi kan itu dulu sekarang Belanda sudah
nggak jajah Indonesia kan eyang” jawabku pada eyang dengan air mata metetes.
“Jujur Atha Eyang kecewa sama, kamu dari kecil udah
janji sama eyang akan pernah mengkhinati Negara walaupun kamu pergi di negeri
yang pernah jajah Indonesia.”
“Tapi eyang
aku nggak mengkhinati negaraku eyang” Jawabku pada eyang yang diselingi dengan
tangisku “tapi kamu tau kan pasti dia itu nggak seideologi sama kita dan
pastinya dia nggak seiman sama kita kan, kamu mau jadi pacaran kok sama orang
yang pernah ngejajah kita, mau jadi apa kamu, mau dibawa kemana Negara kita
kalau kamu nikah sama orang yang pernah menjajah kita” Bentak eyangku padaku.
Aku diam seribu bahasa. Aku putuskan kembali ke
kamarku setelah perdebatan panjang dengan eyangku. Kini aku menghubungi Jhosep
aku berbicara panjang lebar dan aku putuskan untuk menolak lamaran Jhosep.
Beberapa bulan kemudian aku menyadari ini jalan yang
terbaik yang diberiakan Tuhan padaku. Kini aku bekerja seperti ibuku yaitu
sebagai aktivis HAM. Saat ini aku sedang mengangani kasus pembunuh seorang
aktivis yang dibunuh gara-gara menolak tambang pasir. Ternyata cinta pada
seseorang masih kalah dengan rasa nasionalisme, idealisme dan patriotisme.
---Selesai---

Posting Komentar
isi disini