BUKU ARISTOTELES "RETORIKA, SENI BERBICARA"
Hello…
How are you guys ? this is my first time
writing in 2021 on this blog, it's been a long time isn't it, there's a lot I
want to tell you. Tapi kita mulai dari buku ini dulu, sedikit
aku mau bilang buku yang aku baca ini, sebenarnya terbit di tahun 2018, but aku
baru beli di tahun 2021, ya cukup terlambat si, tapi tidak masalah walaupun aku
terlambat punya buku ini, tapi buku yang aku punya ini masih cetakan yang pertama kok.
Oh iya, aku mau bilang aku gak bakal kaji buku ini, hehehehe tapi aku
bakal bahas sedikit dari apa yang aku pahami dan aku bakal nyinggung sedikit mengenai
Aristoteles juga, walaupun ini udah familiar banget and I know that you guys already know, but it doesn't matter if I talk
about it, again. okay
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Jadi buku ini membahasa mengenai Rerorika seni berbicara, Aristoteles
berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya
adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya
menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these
justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35).
Aristoteles
masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan
tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses
adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai
studi tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu
membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki
efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh
Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi,
orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi
‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun
begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari
metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga
kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom
speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang
menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu
sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam
persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan
untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan
politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan
yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan
adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan
perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar
atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates,
yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka
Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi
dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah
upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang
telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan
filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan
dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan).
Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada
khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara
yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung
kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos),
dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi
pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana
karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam
orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi
perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical
proof), yakni enthymeme dan example (contoh).
Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum
sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis
“semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya
memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah
manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan
kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk
menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator
tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk
menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh orator.
Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak tadi, maka
pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau
contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau
kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan
detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles
berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak
hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya
sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak
sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato
atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga
sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan
kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan
khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut
‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran,
cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang cerdas, oleh
karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir khalayaknya,
untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan
orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang
baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak
cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang
bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang
disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba
ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu
memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi
belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat
dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator
dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam
sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang
diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa
yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik
khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi,
diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran
Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan
pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas
seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi
(invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement),
pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques
of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk
memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam
berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik,
isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang
setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin
banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan
argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau
pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya
adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga
kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau
orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah
mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita
katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri
kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang
orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat
karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai
memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang
disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata
atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang
penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari
sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik
atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini
mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau
khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu
menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka
mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang
terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu
aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai
memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika.
Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya.
Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi
secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk
terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang
kepada manusia itu sendiri.


Posting Komentar
isi disini